News

Bisnis Indonesia: Tak Perlu Jeri Koreksi Restitusi

Tegar Arief | Monday, 04 January 2021

Bisnis Indonesia: Tak Perlu Jeri Koreksi Restitusi

Bak simalakama, restitusi pajak menjadi kebijakan yang dilematik, terlebih di tengah upaya pembalikan ekonomi. Di satu sisi, restitusi diharapkan mampu memberikan ruang bagi korporasi untuk bertahan di tengah resesi. Di sisi lain, kebijakan ini berisiko menggerus penerimaan negara.

Apalagi, melonjaknya permintaan dan realisasi restitusi pajak sejauh ini belum mampu menggairahkan geliat ekonomi.

Dalam kenyataannya, desain awal kebijakan ini ditujukan untuk mendorong para pelaku usaha memperluas ekspansi bisnisnya.

Pemerintah pun tidak memiliki banyak pilihan untuk merealisasikan target penerimaan pajak yang cukup besar pada tahun ini. Iklim bisnis diprediksi masih sulit, pun dengan tahapan vaksinasi yang masih tak pasti.

Salah satu opsi yang bisa dilakukan untuk menggerek penerimaan pajak adalah melakukan koreksi atas restitusi, terutama restitusi dipercepat.

Apalagi, pemerintah mencatat realisasi restitusi pada tahun lalu melonjak cukup signifikan. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuding restitusi sebagai penyebab penerimaan pajak tergerus.

Selama Januari-November 2020, total restitusi tercatat mencapai Rp166,6 triliun, tumbuh sebesar 19,24% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Sekadar informasi, sepanjang 2019 total restitusi hanya senilai Rp 143,97 triliun.

Baca Juga: Menyoal Restitusi dan Hak Wajib Pajak

Kementerian Keuangan mencatat, restitusi dipercepat mencatatkan pertumbuhan yang paling signifikan pada tahun lalu, yakni mencapai 34,29%.

Restitusi dipercepat adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak kepada wajib pajak yang dilakukan tanpa adanya pemeriksaan.

Dengan demikian, proses restitusi dipercepat memang tak memkan waktu yang lama dibandingkan dengan proses restitusi pada umumnya. Hal inilah yang kemudian memicu wajib pajak banyak memanfaatkan fasilitas ini.

Adapun, restitusi atas upaya hukum dan restitusi normal masing-masing hanya tumbuh 7,8% dan 16,8% selama Januari-November tahun lalu secara year on year (yoy).

"Pajak neto kita masih mengalami tekanan karena ada restitusi,"kata Sri Mulyani, belum lama ini. Dia mencatat, restitusi mulai melonjak pada periode  Agustus-November 2020.

Sementara itu, capaian penerimaan pajak neto hingga November 2020 sebesar Rp925,34 triliun. Angka tersebut hanya mencapai 77,19% dari target akhir tahun yang senilai Rp1.198,8 triliun.

Di sisi lain, prospek bisnis pada tahun ini masih cukup suram. Hal itu tercermin dalam target penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan Pasal 21 yang dipangkas oleh pemerintah.

Mengacu pada Perpres No. 113/2020 tentang Rincian APBN Tahun Anggaran 2021, target pajak korporasi tahun ini ditargetkan Rp 215,08 triliun, turun 4,46% dibandingkan dengan 2020 yakni Rp 224,53 triliun.

Baca Juga: Respons Corona, Paket Stimulus Pajak Resmi Berlaku

Pun demikian untuk PPh Pasal 21, yang targetnya oleh pemerintah diturunkan sebesar 0,74% yakni dari Rp134,59 triliun menjadi Rp133,80 triliun pada tahun ini.

Angka-angka ini mengindikasikan bahwa pemerintah pun masih pesimistis terhadap akselerasi ekonomi, terkhusus dunia usaha pada tahun ini. Dengan kata lain, prospek penerimaan pajak masih cukup menantang.

Berkaca pada Perpres No. 113/2020, total target penerimaan pajak pada tahun ini adalah Rp1.22,6 triliun. Target tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai Rp1.198,8 triliun.

Cukup Berat

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Institute Wahyu Nuryanto mengatakan tantangan pemerintah untuk mampu mengejar target pajak pada tahun ini memang cukup berat sejalan dengan tingginya ketidakpastian ekonomi dan pendemi Covid-19.

Evaluasi restitusi, menurutnya bisa menjadi salah satu solusi untuk  menampung  pajak. Toh, sejauh ini kebijakan itu belum memiliki kontribusi  secara  maksimal  terhadap  ekonomi.

Menurutnya, sudah saatnya otoritas fiskal melakukan koreksi atas kebijakan ini, terutama restitusi dipercepat.

Namun, dia mengingatkan bahwa koreksi yang dilakukan harus melibatkan wajib pajak.“Itu legal dievaluasi. Pemerin-tah dengan otoritasnya bisa me-lakukan evaluasi atas restitusi, tetapi tentunya harus melibatkan pelaku usaha karena ini hak wajib pajak,” jelasnya.

Sesungguhnya, rencana evaluasi atas restitusi dipercepat pernah diungkapkan oleh otoritas fiskal  pada awal tahun lalu.

Badan Kebijakan FIskal (BKF) Kementerian Keuangan pada tahun lalu berencana mengoreksi  Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.  117/PMK.03/2019 tentang Perubahan Atas PMK No. 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian  Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.

Kala itu, evaluasi akan fokus dilakukan dari sisi administrasi, pemeriksaan, dan pengawasan. Hanya saja, rencana tersebut kandas sejalan dengan hawar virus Corona.

Bagaimana dengan tahun ini? Opsi koreksi tentu masih terbuka. Apalagi pemerintah membutuhkan dana jumbo untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi.

Harian Bisnis Indonesia, 4 Januari 2021 


Global Recognition
Global Recognition | Word Tax     Global Recognition | Word TP
Contact Us

Jakarta
MUC Building
Jl. TB Simatupang 15
Jakarta Selatan 12530

+6221-788-37-111 (Hunting)

+6221-788-37-666 (Fax)

Surabaya
Graha Pena 15th floor
Jl. Ahmad Yani 88
Surabaya 60231

 

Subscribe

For more updates and information, drop us an email or phone number.



© 2020. PT Multi Utama Consultindo. All Rights Reserved.